ISLAM NUSANTARA : KENANGAN DAN HARAPAN


Saat ini wacana untuk menegakkan Khilafah atau yang sering kita dengar dengan mendirikan Negara Islam semakin nyaring terdengar dibumi nusantara. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam sejak Zaman Kemerdekaan begitupun dengan seumbangsih yang telah diberikan amatlah besar untuk negeri ini, namun apakah mendirirkan Negara Islam menjadi sebuah keharusan ? Sebuah pertanyaan besar yang mesti kita jawab.
            Salah satu momentum sejarah yang terlupakan dalam Siroh Nabawiyah (Perjalanan Kenabian) adalah, pernahkah Nabi Muhammad SAW membentuk sebuah Negara atas dasar Islam ? ini yang menurut penulis akan menjawab pertanyaan diatas dan jawabannya adalah Nabi tidak pernah !. Disinilah perlunya kejelian dalam memahami Sejarah Nabi secara utuh dan tidak setengah-setengah.
            Sejarah mencatat, bahwa selama 13 tahun di Mekkah Nabi tidak pernah memimpin suatu kemasyarakatan dalam bentuk Negara, karena justru umat Islam yang pada akhirnya hijrah ke Madinah. Barulah di Madinah kemudian Nabi Muhammad SAW menjadi Pemimpin Masyarakat, lalu apakah yang dijadikan landasan dalam menata Madinah ? dan ternyata yang menjadi landasannya adalah berupa dokumen autentik yang dikenal dengan Piagam Madinah.
            Dalam konstitusi yang ditanda tangani oleh seluruh komponen di Madinah : Nasrani, Yahudi, Muslimin (Anshor-Muhajirin) dan Musyrikin itu ternyata sama sekali Nabi tidak mencantumkan kata Al Quran, Hadits dan Islam. Dalam 47 Pasal yang termuat didalamanya statement yang diangkat meliputi masalah monotheisme, persatuan-kesatuan, persamaan hak, keadilan, kebebasan beragama, bela Negara, pelestarian adat, perdamaian dan proteksi.
            Sebenarnya kalau saja kita mau kembali berkaca pada sejarah awal masuknya Islam di Nusantara itupun dengan mengilhami point-point yang tersebut dalam Piagam Madinah diatas. Lihat saja Wali Songo yang sudah berjasa dalam menyebarkan Isalm di Nusantara. Kondisi yang pada saat itu kental dengan kebudayaan, adat istiadat dan tradisi Hindu tidak dihilangkan melainkan malah menjadi bagian dari dakwah yang dilakukan oleh para Wali.
            Sebut saja Sunan Kalijaga yang pada awal dakwahnya masyarakat jawa sangat senang dengan wayang namun budaya ini tidak serta merta dilarang melainkan dijadikannya wayang itu sebagai media dakwah dengan alur cerita yang berisikan tentang Tauhid (Keesaan Allah) dan Nilai Islam lainnya, atau juga Sunan Kudus yang melarang Masyarakat Muslim Kudus untuk menyembelih sapi yang menjadi hewan suci bagi Umat Hindu dan kemudian atas ijtihadnya diganti dengan Kerbau, sehingga yang dirasakan oleh orang yang belum mengenal Islam adalah toleransi yang begitu tinggi yang diberikan Islam, inilah sebenarnya makna dari firman Allah dalam Al Quran :
!$tBur š»oYù=yLLLLLör& žwÎ) ZptHôqy šúüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
Artinya :  Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al Annbiyaa : 107).
            Melalui konteks ayat diatas sudah seyogyanya kita ini mau memahami bahwa Nabi Muhammad dengan Islamnya tidak diperuntukan untuk orang Arab saja sekalipun bahwa Islam sendiri diturunkan di Jazirah Arab sehingga kita yang bukan orang Arab harus secara mentah-mentah menelan kebudayaan Arab sebagai Indetitas Islam kita.
            Islam Nusantara memang bukan seperti Islam Murni yang datang langsung dari Mekkah berbekal Al Quran, Sunnah Nabi saja akan tetapi Islam yang datang ke Nusantara ini adalah Islam yang telah penuh dengan pergumulan, baik dengan budaya Arab sendiri, dengan kebudayaan Persia Kuno, termasuk kebudayaan Hindu-India, dan ada pula yang melalui budaya Konfusianisme Tiongkok atau China. Dengan adanya pengalaman Sosiologis dan Historis serta cultural antar bangsa dan Negara itulah Islam datang ke Wilayah Nusantara Ini.
            Sehingga Islam menjadi mudah untuk beradaptasi dengan pembawaan kebudayaan yang ada pada saat itu, menjadikan agama Islam tidak kaku dan dapat diterima dengan tangan terbuka hal ini tidak terlepas dari proses masuknya Islam ke Nusantara yang melalui begitu banyak pergulatan yang kemudian pada akhirnya menjadikan agama ini mudah (Fleksibel) namun bukan untuk dipermudah.
            Islam Nusantara dapat dipandang sebagai sebuah entitas karena memiliki karakter yang khas dengan adanya perbedaan sejarah, latar belakang geografis, dan budaya yang dipijaknya. Secara umum karakter dari Islam Nusantara itu sendiri lebih moderat, toleran dan akomodatif. Hal tersebut dikarenakan Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang damai dan bukan dengan kekuatan senjata layaknya penajajah yang ingin menguasai Nusantara.
            Disamping itu, para pembawa Isam ke Nusantara umumnya adalah Sufi yang lebih toleran dan akomodatif terhadap komunitas lain dan praktik keagamaan local. Watak semacam itu juga tercermin pada strategi dakwah Wali yang sudah sedikit banyaknya diurai pada pembahasan sebelumnya yang mana lebih mengedepankan cara persuasi, adaptasi, dan akomodasi bukan melalui jalan konfrontasi yang nantinya malah akan menimbulkan perselisihan.
            Selain corak tasawufnya yang kental, Islam yang masuk ke Nusantara umumnya juga mengikuti aliran Ahlusunnah Wal Jamaah yang merupakan paham keagamaan paling moderat diantara aliran Islam yang ada pada saat itu di Indonesia. Hal yang kemudian menjadi alas an kenapa paham ini paling moderat adalah memiliki beberapa karakteristik seperti tawasuth dan Itidal (Moderat dan Berlaku adill), tasamuh (Toleran), dan tawazun (Seimbang).
            Wajah Islam Nusantara yang ramah, moderat dan toleran jelas masih terus menjadi sebuah pemandangan yang indah hingga saat ini, namun belakangan eksistensinya mulai mendapatkan tantangan dengan hadirnya islam radikal dari timur tengah. Tradisi kenusantaraan pun makin pudar karena nuansa timur yang dipaksakan, ditambah ketengah kawasan nusantara ini, memicu berbagai macam keterangan, bahkan konflik dikalangan pengikut islam sendiri  dan dengan penguasa setempat.
            Hal ini terjadi ketika islam yang baru datang mengubah strategi dakwah yang dulu pernah diajarkan oleh para wali dan sufi, sehingga menyebabkan kehilangan kemampuan untuk dapat beradaptasi sehingga menimbulkan kofrontasi yang begitu nyata dibumi nusantara.
            Kehadiran islam radikal ke bumi Indonesia ini telah menampilkan dua sisi wajah islam, yakni islam sebagai agama yang ramah, moderat, dan toleran serta islam sebagai agamayang kaku, ekstrim dan intoleran sehingga sulit rasanya bagi kita untuk menemukan kembali islam nusantara di Indonesia yang padahal islam di Indonesia meskipun bukan menjadi sebuah Negara islam akan tetapi mampu dengan tepat dan cermat dalam menciptakan suatu tataran kemasyarakatan yang bernafaskan dan bersendikan islam.
            Hilangnya ajaran autentik Indonesia dari generasi bangsa yang cukup serius. Tidak saja memberangus nilai-nilai islam sebagai rahmatan lil alamin akan tetapi dalam sekala tertentu dikhawatirkan akan memporak porandakan NKRI. Pada titik inilah penulis menusulkan beberapa upaya kongkrit untuk menghidupkan dan menemukan kembali islam nusantara.
            Pertama, menghidupkan kembali pendidikan karakter bangsa, ini mengandaikan sikap dan jati diri yang kuat sehingga tidak mudah untuk terombang-ambing oleh isu-isu dari luar. Pendidikan karakter bangsa dapat dilakukan dengan memasukka nilai-nilai etika luhur kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya denerasi muda. Penddikan karakter juga dapat dikembangkan dari kearifan budaya local (local wisdom) seperti gotong royong, kerja bakti saling menghormati dan rasa malu untuk dapat terus dihidupkan. Dengan melakukan ini karakter kebangsaan rakyat Indonesia akan kembali tumbuh dan menemukan jati diri yang sebenaranya.
            Kedua, Merevilitasi peran pesantren, sehingga lembaga pendidikan tertua yang ada di nusantara sehingga saat ini perlu dikaji kembali tentang perannya sebagai pembentuk karakter,ia telah melahirkan banyak pemimpin dan tokoh dinegeri ini. Oleh karena itu sudah saatnya pesantren kembali kecandradimuka sebagai garda terdepan dalam membina dan membentuk karakter-karakter yang bertemakan Nusantara juga sebagai benteng pembangunan bagi generasi muda sebagai pewaris estafet kepemimpinan yang nantinya tidak hanya menularkan pemimpin yang pintar tapi juga benar, benar dalam agama juga benar dalm konteks yang lebih sempit yakni bernegara.
            Ketiga, Meningkatkan kajian dan penelitian tentang islam Indonesia yang berfungsi mengawasi dan sigap terhadap kondisi kekinian tentang islam bail usaha prefentif terhadap perpecahan maupun siaga terhadap ancaman yang bisa saja melumpuhkan organ-organ vital dalm konteks beragama dan bernegara.**


KESIMPULAN
Menemukan kembali islam nusantara, kata “kembali” memang merujuk pada pemahaman bahwa dahulu memang ada islam nusantaram islam dengan versinya Indonesia seningga terjadi penyesuaian dengan adat istiadat, toleransi ataupun kultur tradisi, namun kesemuaanya itu tidak sama sekali mengurangi esensi dari islam itu sendiri. Menginagt nyatanya bahwa islam itu memang diturunkan sebagai rahmatan Lil Alamin (Rahmat bagi semesta alam).
Islam yang dibawa oleh para wali dan sufi memang melewati perjalanan yang cukup jeuh sehingga mampu mewarnai kehidupan beragama di nusantara  ini, jauh sebelum islam masuk kenusantara islam sudah singgah di yaman (hadro maut), China hingga ke india (Gujarat) yang menyebabkan islam itu matang secara metode yang lebih mengedepankan Nilai-nilai perdamaian, toleransi, moderat, adil dan seimbang sehingga ,menjadikan Islam diterima baik dibumi Pertiwi.
Harapan pasti ada bagi siapapun yang berharap, bukan sebuah kemustahilan ketika kita mau berusaha kembali untuk mewujudkan Islam Nusantara. Islam yang harmonis dan tinggi toleransi. Apalagi saat ini Indonesialah yang diharapkan sebagai pemecah masalah-masalah agama ditingkat Internasional mengingat bangsa ini telah mampu menjadi pemersatu dari sekian banyak konflik seperti munculnya gerakan Islam Radikal dan Ekstrem.
Keterangan :
*  Makalah ini sudah dipersentasikan dalam Musabaqoh Menulis Ilmiah Al   
    Qur’an (M2IQ) Tingkat Kota Depok
** Penulis : Humaidi Mufa

Komentar