CINTAI DAHULU,
MUDAH KEMUDIAN...
Ada
seorang santri dari Indonesia menuntut ilmu di Rubath
Tarim pada zaman Habib Abdullah bin Umar Asy
Syathiri. Setelah di sana 4 tahun, santri itu
minta pulang. Dia pamit minta izin pulang kepada
Habib Abdullah.
Santri : Habib, saya mau pulang saja.
Habib : Lho,
kenapa?” tanya beliau.
Santri : Bebal otak saya ini.
Untuk menghafalkan setengah mati. Tidak
pantas saya menuntut ilmu, saya
minta izin mau pulang.
Habib : Jangan
dulu. Sabar.
Santri : Sudah Bib. Saya sudah empat tahun bersabar.
Sudah tidak kuat. Lebih baik saya menikah saja
Habib : Sebentar,
saya mau mengetes dulu bagaimana kemampuanmu
menuntut ilmu
Santri : Sudah bib. Saya menghafalkan setengah mati.
Tidak hafal-hafal.
Habib
Abdullah kemudian masuk ke kamar, mengambil surat-surat
untuk santri itu. Pada masa
itu surat-surat dari Indonesia (Untuk para santri) ketika sampai
di Tarim tidak langsung diberikan. Surat tersebut
tidak akan diberikan kecuali setelah santri itu
menuntut ilmu selama 15 tahun. Habib Abdullah
menyerahkan seluruh surat itu kepadanya,
kecuali satu surat. Setelah diterima,
dibacalah surat-surat itu sampai
selesai. Satu surat yang tersisa kemudian diserahkan. “Ini
surat siapa?” Tanya Habib. “Owh,
itu surat ibu saya.” “Bacalah!” Santri
itu menerima surat dengan perasaan senang,
kemudian dibacanya sampai selesai.
Saat
membaca, kadang dia tersenyum sendiri, sesekali diam
merenung, dan sesekali dia sedih. “Sudah
kamu baca?” tanya beliau lagi. “Sudah.” “Berapa kali?” “Satu
kali.” “Tutup surat itu! Apa kata ibumu?” “Ibu
saya berkata saya disuruh nyantri yang bener.
Bapak sudah membeli mobil baru. Adik saya sudah
diterima bekerja di sini, dan lain- lain.” Isi
surat yang panjang itu dia berhasil menceritakannya
dengan lancar dan lengkap. Tidak ada yang
terlewatkan.
“Baca satu kali kok hafal? Katanya bebal gak hafal-hafal.
Sekarang sekali baca kok langsung hafal dan bisa
menyampaikan.” Kata Habib dengan pandangan
serius. Santri itu bingung tidak bisa menjawab. Dia menganggap
selama ini dirinya adalah seorang yang bodoh dan tidak
punya harapan. Sudah berusaha sekuat tenaga mempelajari ilmu
agama, dia merasa gagal. Tetapi membaca surat
ibunya satu kali saja, dia langsung paham dan hafal.
Habib
Abdullah akhirnya menjelaskan kenapa semua ini bisa terjadi. Beliau mengatakan, “Sebab ketika engkau membaca
surat dari ibumu itu dengan perasaan gembira. Ini ibumu. Coba jika engkau
membaca syariat Nabi Muhammad dengan bahagia dan bangga, ini adalah Nabiku,
niscaya engkau sekali baca pasti langsung hafal.
” Subhanallah....
Banyak saudara-saudara kita (atau malah kita sendiri) yang tanpa sadar
mengalami yang dirasakan santri dalam kisah di atas. Jawabannya adalah rasa
cinta. Kita tidak menyertakan perasaan itu saat membaca dan mempelajari
sesuatu. Sehingga kita merasa diri kita bodoh dan tidak punya harapan sukses. Banyak
orang merasa bodoh dalam pelajaran, tetapi puluhan lagu-lagu cinta hafal di
luar kepala. Padahal tidak mengatur waktu khusus untuk menghapalkannya.
Bagi para santri, jangan mudah menyerah ketika memahami keterbatasan
otak kita ketika menyerap pelajaran. Mungkin kita belum berhasil menanamkan
Virus Cinta di hati kita. Marilah kita berdoa, bermunajat kepada Allah. Semoga
Allah selalu memberikan futuh dalam hati dan pikiran kita serta kemudahan dan
kelancaran dalam menuntut ilmu. Amin
Komentar
Posting Komentar