Ahlussunnah Wal Jama’ah
terdiri dari tiga susunan kata yakni : Ahlu, Al-Sunnah, dan Al - Jama’ah. Kata Ahlu diartikan sebagai keluarga,
komunitas, atau pengikut. Kata As-Sunnah diartikan sebagai jalan atau
karakter. Sedangkan kata Al-Jamaah diartikan sebagai perkumpulan. Arti Sunnah secara istilah adalah segala
sesuatu yang diajarkan Rasulullah SAW., baik berupa ucapan, tindakan, maupun
ketetapan. Sedangkan Al-Jamaah bermakna sesuatu yang telah disepakati komunitas sahabat Nabi pada
masa Rasulullah SAW. dan pada era pemerintahan Khulafah Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan
Ali). Dengan demikian Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah komunitas orang-orang yang selalu berpedoman kepada sunnah
Nabi Muhammad SAW. dan jalan para sahabat beliau, baik dilihat dari aspek
akidah, agama, amal-amal lahiriyah, atau akhlak hati.[1] Jama’ah mengandung beberapa pengertian,
yaitu: kaum ulama atau kelompok intelektual; golongan yang terkumpul dalam
suatu pemerintahan yang dipimpin oleh seorang amir; golongan yang di dalamnya
terkumpul orang-orang yang memiliki integritas moral atau akhlak, ketaatan dan
keimanan yang kuat; golongan mayoritas kaum muslimin; dan sekelompok sahabat
Nabi Muhammad SAW.[2]
Menurut Imam Asy’ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah golongan yang berpegang
teguh kepada al-Qur’an, hadis, dan apa yang diriwayatkan sahabat, tabi’in,
imam-imam hadis, dan apa yang disampaikan oleh Abu Abdillah Ahmad ibn Muhammad
ibn Hanbal.[3] dan Menurut KH. M. Hasyim Asy’ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah golongan yang berpegang
teguh kepada sunnah Nabi, para sahabat, dan mengikuti warisan para wali dan
ulama. Secara spesifik, Ahlusssunnah Wal Jamaah yang berkembang di Jawa adalah mereka yang dalam fikih mengikuti
Imam Syafi’i, dalam akidah mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan dalam
tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali dan Imam Abu al-Hasan al-Syadzili.[4] Menurut Muhammad Khalifah al-Tamimy, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah para sahabat, tabiin,
tabiit tabi’in dan siapa saja yang berjalan menurut pendirian imam-imam yang
memberi petunjuk dan orang-orang yang mengikutinya dari seluruh umat semuanya.[5]
Definisi di atas meneguhkan kekayaan intelektual dan
peradaban yang dimiliki Ahlusssunnah Wal Jamaah, karena tidak hanya bergantung kepada al-Qur’an dan hadits, tapi
juga mengapresiasi dan mengakomodasi warisan pemikiran dan peradaban dari para
sahabat dan orang-orang salih yang sesuai dengan ajaran-ajaran Nabi. Terpaku
dengan al-Qur’an dan hadis dengan membiarkan sejarah para sahabat dan
orang-orang saleh adalah bentuk kesombongan, karena merekalah generasi yang
paling otentik dan orisinal yang lebih mengetahui bagaimana cara memahami,
mengamalkan dan menerjemahkan ajaran Rasul dalam perilaku setiap hari, baik
secara individu, sosial, maupun kenegaraan. Berpegang kepada al-Qur’an dan
hadis ansich, bisa mengakibatkan hilangnya esensi (ruh) agama, karena akan terjebak
pada aliran dhahiriyah (tekstualisme) yang mudah menuduh bid’ah kepada komunitas yang
dijamin masuk surga, seperti khalifah empat.
Di Indonesia, yang paling dominan adalah mengikuti
Imam Asy’ari dalam aspek aqîdah, Imam Syâfi’i dalam aspek fiqh, dan Imam
Ghazâli dalam aspek tasawuf. Karya-karya mereka
dikaji di pesantren, madrasah, majlis ta’lim, masjid, mushalla, dan lain-lain. Imam Asy’ari terkenal dengan kemampuannya menggabungkan dimensi
rasionalitas Mu’tazilah (karena lama menjadi pengikut Mu’tazilah) dan
tradisionalitas Jabariyah (fatalistik). Teori kasb (upaya/usaha) adalah
buktinya. Teori ini dimunculkan sebagai mediasi antara kaum rasionalis dan
tradisionalis, bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk berusaha, namun hasil
akhirnya berada dalam kekuasaan Allah.[6]
Imam Syâfi’i terkenal dengan kemampuannya
menggabungkan rasionalitas ahlu al-ra’yi (pengikut Imam Hanafi di Irak) dan tradisionalitas ahlu al-hadîs (pengikut Imam Mâlik di
Madinah). Konsep qiyâs (analogi) dan istiqrâ’ (penelitian induktif) dalam menjawab masalah-masalah aktual adalah
pemikiran cemerlang Imam Syâfi’i yang menggemparkan jagat intelektualitas pada
masa itu. Sedangkan Imam Ghazâli
terkenal dengan kemampuannya menggabungkan rasionalitas filosof, formalitas
ahli fiqh, dan esoteritas kaum sufi. Ihyâ’ Ulûmiddîn adalah master piece Al-Ghazali yang mengandung
kedalaman kajian aqîdah, filsafat, fiqh, tasawuf, sosial dan politik dalam satu
kesatuan yang holistik. Tasawuf falsafi dan amali digabungkan dalam satu pemikiran dan tindakan yang membawa
perubahan positif bagi masa depan dunia dan akhirat.
Dalam sejarah perkembangannya Ahlussunnah Wal Jamaah selalu dinamis dalam menjawab
perkembangan zaman tetapi tetap memegang prinsip dalam mengamalkan ajarannya.
Diantara prinsip Ahlussunnah
Wal Jamaah di dalam sejarah
perkembangannya di berbagai aspek kehidupan meliputi
Aqidah (Tauhid), pengambilan hukum (Syariah), tasawuf/akhlak dan bidang sosial-politik
dengan penjabaran sebagai berikut:
Ahlussunnahwaljamaah menekankan bahwa pilar utama
ke-Imanan manusia adalah Tauhid. Ajaran Tauhid (mempercayai Tuhan
sebagai yang Esa) mempunyai arti luas, bukan hanya sekedar tentang sifat Tuhan
saja. Ia merangkum segala sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan, pembuktiannya
dan sumber-sumbernya.[7] Tauhid
adalah "merupakan inti ajaran Islam. Tauhid berarti hanya ada Satu Tuhan
Yang Maha Tinggi di alam semesta ini. Dia Maha Kuasa, Maha Ada dan merupakan
Pemelihara alam semesta dan umat manusia."[8]
Berdasarkan
theologi Al-Asyari NU merumuskan karakter utama sebagai ahlusunnah wal
jamaah. Choirul Anam dengan mengutip Achmad Siddiq rnerumuskan tiga
karakter utama NU :
a. Keseimbangan
antara dalil aqli (rasio) dan dalil naqli (Al-Quran
dan Hadits), dengan pengertian dalil aqliditempatkan di bawah
dalil naqli.
b. Berusaha
sekuat tenaga memurnikan aqidah dari segala campuran aqidah di
luar Islam.
c.
Tidak mudah menjatuhkan
vonis musyrik, kufur dan sebagainya atas seseorang yang karena
satu dan lain sebab belum dapat memurnikan aqidah semurni-murninya.[9]
Konsep ini dimunculkan oleh Imam
Abul Hasan al-Asy’ari, beliau lahir di Basrah sekitar tahun 260 H/873M dan
wafat di Baghdad 324H/935M, aqidah Asy’ariyah merupakan jalan tengan dari
kelompok-kerlompok keagamaan yang pada waktu itu berkembang yakni kelompok
Jabariyah dan Qodariyah yang dikembangkan oleh Mu’tazilah.pertentangan kelompok
tersebut terlihat dari pendapat mengenai perbuatan manusia,kelompok Jabariyah
berpendapat bahwa perbuatan manusia seluhnya diciptakan oleh Allah dan manusia
tidak memiliki andil sedikitpun, berbeda dengan pendapat kelompok Qodariyah,
bahwa perbuatan manusia seluruhnya adalah diciptakan oleh manusia itu sendiri
terlepas dari Allah, artinya kelompok Jabariyah melihat kekuasaan Allah itu
mutlak sedang kelompok Qodariyah melihat kekuasaan Allah terbatas.
Asy’ariyah besikap mengambil
jalan tengah (tawasuth) dengan konsep upaya (al-kasb), menurut Asyari perbuatan
manusia diciptakan oleh Allah, namun manusia memiliki peranan dalam
perbutaannya, artinya upaya (kasb) meiliki makna kebersamaan kekuasaan manusia
dengan perbuatan Tuhan, upaya juga bermakna keaktifan dan tanggung jawab
manusia atas perbuatannya. Dengan demikian manusia selalu keratif dan berusaha
dalam menjalankan kehidupannya, akan tetapi tidak melupakan Tuhan. Konsep
Asy’ariyah mengenai toleransi (tasammuh), mengenai konsep kekuasan Tuhan yang
mutlak, bagi Mu’taziah Tuhan Wajib bersikap adil dalam memperlakukan
mahluk-Nya, Tuhan wajib memasukan orang baik ke surga dn orang jahat ke neraka,
berbeda dengan Asy’ariyah, alasannya kewajiban berati telah terjadi pembatasan
terhadap kekuasaan Tuhan, padalah Tuhan memiliki kekuasaan mutlak, tidak ada
yang membatasi kekuasaan dan kehendak Tuhan, termasuk soal akal, Mu’tazilah
memposisikan akal diatas wahyu, berbeda dengan Asy’ariyah akal dibawal wahyu,
namun akal diperlukan dalam memahami wahyu, artinya dalam Asyariyah akal tidak
ditolak, dan kerja-kerja rasionalitas dihormati dalam kerangka pemahaman dan
penafsiran wahyu berserta langka-langkahnya.
Hampir seluruh kalangan Sunni
menggunakan empat sumber hukum yaitu:
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai
sumber utama dalam pengambilan hukum (istinbath al-hukm)tidak dibantah oleh semua madzhab fiqh.Sebagai sumber hukum naqli posisinya tidak diragukan.Al-Qur’an merupakan sumber hukum
tertinggi dalam Islam.
b. As-Sunnah
As-Sunnah meliputi al-Hadist dan segala tindak dan
perilaku Rasul SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh para Shabat dan Tabi’in.
Penempatannya ialah setelah proses istinbath
al-hukm tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, atau digunakan sebagai komplemen
(pelengkap) dari apa yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an.
c. Ijma’
Menurut Abu Hasan Ali
Ibn Ali Ibn Muhammad Al-Amidi, Ijma’ adalahKesepakatan kelompok legislatif (ahl al-halli wa
al-aqdi) dan ummat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu
kasus.Atau kesepakatan orang-orang mukallaf dari ummat Muhammada pada suatu
masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Dalam Al-Qur’an dasar Ijma’ terdapat dalam QS An-Nisa’, 4: Dan QS Al-Baqarah, 2: 143.
d. Qiyas
Qiyas, sebagai sumber hukum Islam, merupakan salah satu
hasil ijtihadpara Ulama.Qiyas yaitu mempertemukan sesuatu yang tak ada nash hukumnya dengan hal
lain yang ada nash hukumnya karena ada persamaan ‘illat hukum. Qiyas sangat dianjurkan untuk
digunakan oleh Imam Syafi’i.
Imam Abu Hamid Al-Tusi Al-Ghazali menjelaskan “Tasawuf
adalah menyucikan hati dari apa saja selain Allah. kaum sufi adalah para pencari di Jalan Allah, dan perilaku mereka
adalah perilaku yang terbaik, jalan mereka adalah jalan yang terbaik, dan pola
hidup mereka adalah pola hidup yang paling tersucikan. Mereka telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah dan
menjadikannya sebagai saluran tempat mengalirnya sungai-sungai yang membawa
ilmu-ilmu dari Allah.” kata Imam Al-Ghazali. Seorang sufi adalah mereka yang mampu
membersihkan hatinya dari keterikatan selain kepada-Nya.
Ketidakterikatan kepada apapun
selain Allah SWT adalah proses batin dan perilaku yang harus dilatih bersama
keterlibatan kita di dalam urusan sehari-hari yang bersifat duniawi. Zuhud harus dimaknai sebagai ikhtiar
batin untuk melepaskan diri dari keterikatan selain kepada-Nya tanpa
meninggalkan urusan duniawi. Mengapa? karena justru di tengah-tengah
kenyataan duniawi posisi manusia sebagai Hamba dan fungsinya sebagai Khalifah
harus diwujudkan.
Banyak contoh sufi atau ahli
tasawuf yang telah zuhud namun juga sukses dalam ukuran
duniawi. Kita lihat saja Imam Al-Junaid adalah adalah pengusaha botol yang
sukses, Al-Hallaj sukses sebagai pengusaha tenun, Umar Ibn Abd Aziz adalah
seorang sufi yang sukses sebagai pemimpin negara, Abu Sa’id Al Kharraj
sukses sebagai pengusaha konveksi, Abu Hasan al-Syadzily sukses sebagai petani,
dan Fariduddin al-Atthar sukses sebagai pengusaha parfum. Mereka adalah sufi
yang pada maqomnya tidak lagi terikat dengan urusan duniawi tanpa meninggalkan
urusan duniawi.
Urusan duniawi yang mendasar
bagi manusia adalah seperti mencari nafkah (pekerjaan), kemudian berbuntut pada
urusan lain seperti politik. Dari urusan-urusan itu kita lantas bersinggungan
dengan soal-soal ekonomi, politik-kekuasaan, hukum, persoalan sosial dan
budaya. Dalam Tasawuf urusan-urusan tersebut tidak harus ditinggalkan untuk
mencapai zuhud, justru kita mesti menekuni kenyataan duniawi secara total
sementara hati/batin kita dilatih untuk tidak terikat dengan urusan-urusan itu.
Di situlah zuhud kita maknai, yakni zuhud di dalam batin sementara aktivitas sehari-hari kita tetap
diarahkan untuk mendarmabaktikan segenap potensi manusia bagi terwujudnya
masyarakat yang baik.
Berbeda dengan golongan Syi’ah yang memiliki sebuah konsep negara dan mewajibkan berdirinya
negara (imamah), Pandangan Syi’ah tersebut juga berbeda dengan Khawarij yang membolehkan komunitas berdiri tanpa imamah apabila dia telah mampu mengatur dirinya sendiri. Ahlussunnah wal jama’ah dan
golongan sunni umumnya memandang negara sebagai kewajiban fakultatif (fardhu
kifayah). Bagi ahlussunnah wal jama’ah, negara merupakan alat untuk mengayomi kehidupan manusia demi terciptanya kemashlahatan bersama (mashlahah
musytarakah).
Ahlussunnah
wal-Jama’ah tidak
memiliki konsep bentuk negara yang baku. Sebuah negara boleh berdiri atas dasar
teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau negara-modern/demokrasi, asal mampu
memenuhi syarat-syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah
otoritas (wewenang) pemimpin negara tersebut. Syarat-syarat itu adalah[10]:
Negara harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil
segala keputusan dan setiap keputusan, kebijakan dan peraturan. Salah satu ayat
yang menegaskan musyawarah adalah (QS
Al-Syura, 42: 36-39
Keadilan adalah salah satu Perintah yang paling banyak
ditemukan dalam Al-Qur’an. Prinsip ini tidak boleh dilanggar oleh sebuah pemerintahan, apapun
bentuk pemerintahan itu.salah satu ayat dalam Al-Qur an terdapat
pada QS An-Nisa, 4: 58
Negara wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi warganya.Kebebasan
tersebut wajib hukumnya karena merupakan kodrat asasi setiap manusia. Prinsip
kebebasan manusia dalam Syari’ah dikenal dengan Al-Ushulul-Khams (prinsip yang lima) yang identik dengan konsep Hak Azazi Manusia yang lebih dikenal dalam
dunia modern bahkan mungkin di kalangan ahlussunnah wal-jama’ah. Lima pokok atau prinsip ini menjadi ukuran baku bagi legitimasi sebuah kepemerintahan
sekaligus menjadi acuan bagi setiap orang yang menjadi pemimpin di kelak
kemudian hari.Lima pokok atau prinsip tersebut yaitu:
-
Hifzhu
al-Nafs (menjaga
jiwa); adalah kewajiban setiap kepemimpinan (negara) untuk
menjamin kehidupan setiap warga negara; bahwa setiap warga negara berhak dan
bebas untuk hidup dan berkembang dalam wilayahnya.
-
Hifzhu al-Din (menjaga
agama); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin
kebebasan setiap orang memeluk, meyakini dan menjalankan Agama dan
Kepercayaannya. Negara tidak berhak memaksakan
atau melarang sebuah agama atau kepercayaan kepada warga negara.
-
Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin keamanan harta benda
yang dimiliki oleh warga negaranya. Negara wajib memberikan jaminan keamanan
dan menjamin rakyatnya hidup sesuai dengan martabat rakyat sebagai manusia.
-
Hifzhual-Nasl; bahwa negara wajib memberikan jaminan terhadap asal-usul, identitas,
garis keturunan setiap warga negara. Negara harus menjaga kekayaan budaya
(etnis), tidak boleh mangunggulkan dan memprioritaskan sebuah etnis tertentu. Hifzhu al-Nasl berarti negara harus
memperlakukan sama setiap etnis yang hidup di wilayah negaranya.
-
Hifzh al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan
ataupun kedudukan setiap warga negara. Negara tidak boleh merendahkan warga
negaranya karena profesi dan pekerjaannya. Negara justru harus menjunjung
tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi setiap warga negara.
Bahwa manusia diciptakan sama
oleh Allah SWT. Antara satu manusia dengan mausia lain, bangsa dengan bangsa yang
lain tidak ada pembeda yang menjadikan satu manusia atau bangsa lebih tinggi
dari yang lain. Manusia diciptakan berbeda-beda adalah untuk mengenal antara
satu dengan yang lain. Sehingga tidak dibenarkan satu manusia dan sebuah bangsa
menindas manusia dan bangsa yang lain. Hai ini termaktub dalam QS. Al-Hujuraat, 49: 13. Perbedaan bukanlah
semata-mata fakta sosiologis, yakni fakta yang timbul akibat dari relasi dan
proses sosial. Perbedaan merupakan keniscayaan teologis yang Dikehendaki oleh
Allah SWT. Demikian disebutkan dalam surat Al-Ma’idah; 5: 48.
Dalam sebuah negara kedudukan
warga negara adalah sama. Orang-orang yang menjabat di tubuh pemerintahan
memiliki kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mereka memiliki jabatan
semata-mata adalah untuk mengayomi, melayani dan menjamin kemashlahatan
bersama, dan tidak ada privilege (keistimewaan) khususnya di mata hukum.Negara justru harus mampu
mewujudkan kesetaraan derajat antar manusia di dalam wilayahnya, yang biasanya
terlanggar oleh perbedaan status sosial, kelas ekonomi dan jabatan politik.
Dengan prinsip-prinsip di
atas, maka tidak ada doktrin Negara Islam, Formalisasi Syari’at Islam dan
Khilafah Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-Jama’ah. Sebagaimana pun tidak didapati
perintah dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas untuk mendirikan salah satu
di antara ketiganya. Islam hanya diharuskan untuk
menjamin agar sebuah pemerintahan – baik negara maupun kerajaan – harus mampu
memenuhi 4 (empat) kriteria di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Alarna, Badrun, (2000), cet. 1, NU, Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja, Yogyakarta : Tiara Wacana
Al-Asy’ari, Abi al-Hasan Ali ibn Ismail, (t.th). al-Ibanah An Ushul al-Diyanah, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah
LIM, FKI (2010), cet. 2, Gerbang Pesantren, Pengantar Memahami Ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, Kediri:
Litbang Lembaga Ittihadul
Muballigin PP. Lirboyo
Madjid, Nurcholis, (2000), cet. 4, Islam Doktrin Dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, , hlm. 282-84 .
Misrawi, Zuhairi,
(2010), cet. 1, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari,
Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan, Jakarta
: Kompas
Nasir, Sahilun A. (2010), cet. 1 Pemikiran Kalam (Teologi
Islam), Sejarah, Ajaran, dan Perkembangan, Jakarta :
[1] FKI LIM, Gerbang Pesantren, Pengantar Memahami Ajaran
Ahlussunnah wal Jama’ah Kediri : Litbang Lembaga
Ittihadul
Muballigin PP. Lirboyo, 2010, cet. 2, hlm. 3
[2] Badrun Alarna, NU, Kritisisme dan Pergeseran
Makna Aswaja, Yogyakarta : Tiara
Wacana, 2000, cet. 1, hlm. 33
[3] Abi al-Hasan Ali ibn Ismail
al-Asy’ari, al-Ibanah An Ushul al-Diyanah, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t., hlm. 14
[4] Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan, Jakarta : Kompas, 2010, cet. 1,
hlm.
107
[5] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi
Islam), Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, Jakarta : Rajawali Press,
2010, cet. 1,
hlm. 190
[6] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban, Jakarta : Paramadina, 2000, cet. 4, hlm. 282-84 . Dalam karyanya
Imam
Asy’ari
menegaskan bahwa usaha seorang hamba itu diciptakan oleh Allah. Baca Imam
al-Asy’ari, al-Luma’ fi aal-Raddi
Ala Ahl
al-Ziaghi wa al-Bida’i, Beirut :
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000 M./ 1421 H., cet. 1, hlm. 43
[8] Kurshid Ahmad, "Islam: Prinsip-prinsip Dasar dan
Karakteristik-karakteristiknya", dalam Pesan Islam, ed.
Kurshid Ahmad,
terjemahan dari 'Islam: Its Meaning and Message', (Bandung:
Pustaka, 1983), hlm. 14-15.
[9] Choirul Anam, op.cit., hlm. 152. Ketiga
karakter itu disimpulkan dalam tiga istilah: At Tawassuth, berarti
pertengahan, Al
I'tidal, berarti tegak lurus dan At Tawaazun,
berarti keseimbangan. Ketiganya berasal dari ayat-ayat Quran Sura Al-
Baqarah: 143, Al Maidah: 9 dan Al Hadid: 25. Ibid,, hlm. 151.
[10] Ahlussunnah
Wal Jama’ah Sebagai Manhajul Fikr, dalam http://halmahera21.wordpress.com/2009/07/06/ahlussunnah-
Komentar
Posting Komentar