PERAN GENERASI MUDA NU DALAM MELAWAN HOAKS
Lagi dan lagi, informasi bohong atau hoaks
terus menerus hadir disekeliling kita seakan sudah tak dapat dibendung lagi.
Meski satu persatu, cepat atau lambatnya terklarifikasi namun faktanya hoaks
(berita bohong) terus menerus ada dan begitu derasnya tersebar lewat berbagai
media khususnya media social. Belum lama ini misalnya, publik Tanah Air dikejutkan
oleh skandal besar kebohongan yang dilakukan oleh aktivis politik Ratna Sarumpaet.
Ratna membuat cerita bahwa ia telah dianiaya oleh tiga lelaki tak dikenal di
Bandung. Publik, media sosial hingga tokoh-tokoh politik pun dibuat geger.
Polisi turun tangan untuk menyelidiki kasus ini. Namun ternyata ketika situasi
sudah mulai panas dengan tiba-tiba Ratna melakukan klarifikasi bahwa berita
tersebut adalah bohong, sambil menangis dia mengakui kesalahan fatal yang
dibuatnya karena ternyata lebam di wajahnya adalah efek operasi plastik yang
baru saja dilakukannya bukan karena kasus penganiayaan. Ratna terbukti telah
berbohong. Akan tetapi, apakah selesai sampai disitu ? oh, ternyata
tidak.
Hoaks terus menerus hadir ditengah-tengah kita,
ada 7 Kontainer berisi Surat Suara yang telah tercoblos, ada Pembangunan Jalan
Tol yang katanya tanpa menggunkan hutang, dan masih banyak lagi. Anehnya, ini
semua sudah terlanjur menyebar dan diakui kebenarannya oleh sebagian orang.
Bayangkan jika berita bohong kemudian dianggap menjadi sebuah kebenaran yang
mutlak harus diakui bahkan yang tidak mengakui kerap dikatakan “munafiq”.
Pantas saja jika Michiko Kakutani dalam bukunya The Death of Truth: Notes on Falsehood in the
Age of Trump (2018)
mengungkapkan bahwa zaman ini adalah era matinya kebenaran dan kejayaan
kebohongan. Inilah era pasca-kebenaran (post-truth).
Semua berita bohong itu begitu cepatnya
menyebar bergelinding didunia maya dan media social bak bola salju yang seakan
menggiring opini public untuk ikut percaya dan terus menyebarkan. Mau dibawa
kemana generasi kita saat ini jika yang satu membuat narasi kebohongan kemudian
yang satu larut untuk terus menyebarkan, yang satu lainnya menunggu informasi
namun bukan kebenaran yang didapatinya melainkan kebohongan. Sejatinya, akibat
paling fatal penyebaran narasi kebohongan melalui media sosial adalah luruhnya
batas antara kebenaran dan kebohongan. Akal sehat tidak lagi digunakan. Daya
kritis terhadap informasi menghilang. Yang mengemuka adalah semata opini, emosi
dan keyakinan pribadi. Pengguna media sosial tidak bisa lagi membedakan antara
fakta atau opini, data atau gosip, kebenaran atau fitnah. Lalu bagaimana
seharusnya sikap kita sebagai Generasi Muda Nahdlatul Ulama menyikapi dinamika
yang terjadi saat ini khususnya tentang bagaimana melawan hoaks. Di antara yang dapat kita lakukan
adalah dengan tidak menjadi orang yang memproduksi dan membuat informasi hoaks
itu sendiri. Hendaknya kita menjauhkan diri dari membuat informasi yang berisi
kebohongan.
Selain kita tidak menjadi produsen
atau pembuat narasi kebohongan yang kemudian disebarkan, kita juga hendaknya
tidak menjadi distributor dari berbagai informasi hoaks. Boleh jadi kita tidak
membuat kebohongan, boleh jadi kita tidak memproduksi kebohongan, akan tetapi
bukan berarti kita sah dan boleh menyebarkanluaskan kebohongan. Boleh jadi kita
hanya menerima kiriman informasi hoaks tapi tidak berarti kita boleh membagikan
kembali informasi hoaks yang kita terima untuk kita sebarkan kembali. Selama
kita masih menjadi produsen, selama kita masih menjadi distributor informasi
hoaks, maka sampai kapanpun juga hoaks akan terus selalu bersama-sama kita,
entah akan seperti apa nantinya Wal ‘iyaadzu Billah.
Dalam hadits riwayat Imam Malik
diceritakan, pada suatu hari Baginda Nabi pernah ditanya:
أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ
جَبَانًا؟
“Apakah ada orang yang beriman tapi dia seorang pengecut dan
penakut?”
Jawab Nabi, “Iya ada.”
أَفَيَكُونُ بَخِيلًا؟
“Apakah ada orang yang beriman tapi dia seorang yang pelit
bakhil?”
Jawab Nabi, “Iya ada.”
أَفَيَكُونُ كَذَّابًا؟
“Apakah ada orang yang beriman tapi dia suka membuat
kebohongan?”
Jawab Nabi, “Tidak ada.”
Kita sebagai Generasi Muda NU boleh
jadi kita adalah seorang yang pengecut dan penakut, sebagai Generasi Muda NU
boleh jadi kita adalah seorang yang pelit, tapi tidak ada kamusnya kita sebagai
Generasi Muda NU tapi merupakan seorang pembohong dan pembuat kebohongan bahkan
ikut menyebarkan kebohongan. Na’udzubillah Tsumma Na’udzubillah.
Hoalah, kok jadi inget pelajaran
mondok dulu, Kitab Qiroaturrosyidah untuk kelas 1 Aliyah, Kalau gak salah
berjudul" "هل تعاهدني على ترك الكذب ؟. Intinya, jangan
bohong, jangan jadi pembohong dan jangan menyebarkan kebohongan. Saya sebagai
salah seorang Generasi Muda NU Depok mengajak kepada seluruh Warga Nahdlatul
Ulama Khususnya Umumnya kepada siapapun juga mari perbanyak literasi membaca
kita supaya tidak jumud, mari bangun terus daya nalar kritis kita terhadap
informasi apapun apalagi yang sifatnya mendiskreditkan NU ataupun NKRI dan tak
lupa mari perbanyak ngopi agar segala sesuatunya tetap santuy, Keep Calm Brooo…
Say No To Hoaks and Say “ I’m Proud To Be Nahdliyyin….”
Komentar
Posting Komentar